Kita menghadapi masa depan yang tidak pasti. Krisis iklim, kelangkaan air, hilangnya keanekaragaman hayati, dan kemiskinan yang mengakar adalah masalah-masalah besar yang dapat mempengaruhi kita semua. Baik itu individu, komunitas, bisnis atau pun pemerintah tidak dapat menangani masalah tersebut sendirian. Kita perlu melihat batasan yang kita miliki, baik itu dalam lingkup pertanian, desa atau rantai pasokan, untuk memahami sepenuhnya tantangan ini agar dapat menerapkan kebijakan yang efektif.
Petani skala kecil menghadapi banyak hambatan untuk mematuhi standar keberlajutan yang ketat termasuk periode transisi produksi dari berbisnis seperti biasa (business as usual), biaya dan waktu yang dikeluarkan untuk sertifikasi atau standarisasi, dan dokumen persyaratan lainnya yang cukup banyak. Pada beberapa negara berkembang, tingginya biaya produksi dan risiko panen, serta kurangnya badan sertifikasi/standarisasi lokal menyebabkan peningkatan biaya/harga. Selain itu, persyaratan untuk ‘traceability’ yang baik lebih mendukung pertanian komersil dengan skala besar, karena petani dengan skala usaha yang lebih kecil biasanya memiliki kemampuan kolektif yang cukup rendah pada saat mengelola bisnis (berkelanjutan), sehingga seringkali mereka kurang berhasil mencapai peluang dengan skala ekonomi yang lebih besar.
Banyak dari inisiasi keberlajutan ini dibuat oleh kelompok kecil mitra yang berkolaborasi dan mempengaruhi ketidakberpihakan mereka. Mendorong perubahan terkoordinasi di wilayah yang luas menuju kemakmuran ekonomi, inklusi sosial, dan konservasi lingkungan adalah sangat penting dan menempatkan pendekatan bentang alam dengan sistem keterlusuran yang tepat pada skala yang relevan (wilayah sub-nasional) sebagai alat yg menjanjikan untuk memungkinkan perubahan transformatif dalam skala besar. Mengingat hal tersebut, kegiatan yang diusulkan kali ini menargetkan pendekatan tata kelola multi laporan, dari petani kecil hingga pemangku kepentingan nasional hingga Asia, untuk meningkatkan penerapan sistem dan/atau standar pengelolaan lingkungan dan sosial dengan posisi strategis di pasar global. Selain itu, mengintegrasikan percontohan dan teknologi inovatif ke dalam rencana tata ruang dan pembangunan provinsi dan kabupaten akan dapat meningkatkan keberhasilan. Kegiatan ini berfokus pada pengembangan kelapa sawit berkelanjutan di Kabupaten Labuhanbatu Utara, Provinsi Sumatera Utara.
Dalam konteks kelapa sawit, Sustainable Farming in Tropical Asian Landscapes (SFITAL) bertujuan untuk meningkatkan kemampuan petani kelapa sawit skala kecil di Labuhanbatu Utara untuk mengelola perkebunan kelapa sawit sesuai dengan standar keberlanjutan dan mendorong penerapan standar tersebut termasuk meningkatkan askes petani kelapa sawit ke pasar global dengan melibatkan petani dalam rantai nilai keberlanjutan dan bermitra dengan pelaku usaha. Di sisi lain, Pemerintah Kabupaten diharapkan mampu mengintegrasikan komoditas berkelanjutan ke dalam produk kebijakan dan rencana pembangunan daerah, termasuk mendukung upaya Pemerintah Indonesia untuk mengejar komoditas berkelanjutan dan rantai nilai dengan mencari pembelajaran dan rekomendasi kebijakan strategis dari kualitas hasil penelitian.
Berdasarkan hasil identifikasi dan analisis, melalui FGD terdapat setidaknya 6 isu tata keloka rantai nilai kelapa sawit di Kabupaten Labuhanbatu Utara yaitu perawatan kebun yang tidak optimal, kurangnya pengetahuan akan GAP dalam budidaya kelapa sawit, harga pupuk yang tidak terjangkau, jumlah PKS yang terlalu banyak, kasus pencurian TBS dan belum berjalannya program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Selain itu, terdapat 10 stakeholder yang terlibat dalam tata kelola rantai nilai kelapa sawit, seperti buruh panen, petani, tauke, RAMP, pemegang delivery order serikat pekerja seluruh Indonesia, perusahaan pemilik PKS, perusahaan pengolah, dan pemerintah daerah. Adapun struktur tata kelola rantai nilai kepala sawit seperti pada gambar. Petani menjadi posisi yang paling bebas menjual TBS-nya kepada semua tingkatan peran rantai pasok.
Keberlanjutan bisnis kelapa sawit di Kabupaten Labuhanbatu Utara perlu diperhitungkan dari berbagai aspek. Berdasarkan hasil temuan di lapangan, terdapat setidaknya 3 (tiga) aspek yang dapat mempengaruhi keberlanjutan bisnis kelapa sawit dan rantai nilainya, yaitu hubungan kerjasama antara petani produsen TBS dengan pembelinya; kesenjangan antara kebutuhan pasokan TBS dengan kapasitas PKS yang terpasang; dan keberadaan generasi penerus petani kelapa sawit. Jika dilihat dari keberadaan generasi penerus petani kelapa sawit, pengelolaan kebun memerlukan sumberdaya dengan skill dan pengetahuan yang terlatih. Hasil dari FGD mentakan bahwa persentase terbesar 63,16% yang menjawab bahwa terdapat penerus bisnis kelapa sawit yang dilakukan oleh petani yang mengelolanya saat ini. Kebun yang diremajakan, selama fase produksi selanjutnya, dipastikan akan ada yang merawatnya, sehingga rantai nilai ini tetap berjalan.
Arahan pengembangan tata kelola rantai pasok kelapa sawit di Kabupaten Labuhanbatu Utara disusun sebagai rekomendasi berdasarkan temuan lapangan kondisi existing dan analisis tata kelola rantai pasok komoditas kelapa sawit. Arahan ini dapat memperbaiki tata kelola rantai pasok kelapa sawit di Kabupaten Labuhanbatu Utara. Penyusunan arahan pengembangan tata kelola rantai pasok kelapa sawit ini dilakukan dengan mempertimbangkan semua aspek agribisnis kelapa sawit sehingga rantai pasok kelapa sawit dapat berjalan dengan baik dan bermanfaat untuk semua stakeholder yang terlibat dalam rantai pasokkelapa sawit. Arahan diberikan untuk sistem agribisnis hulu, subsistem produksi /usahatani, subsistem agribisnis hilir, subsistem pemasaran kelapa sawit, dan subsistem lembaga penunjang. Lebih lengkapnya disajikan dalam Final Report Value Chain Governance of Palm Oil at North Labuhanbatu Regency for Sustainable Farming in Tropical Asian Landscapes (SFITAL).