‘Kajian Awal Pengembangan Wilayah Bogor Raya dalam Konteks Jabodetabek dan Mega-Urban Region’ disusun berdasarkan fenomena urbanisasi yang berlangsung, sejak akhir tahun 1980an. Proses urbanisasi yang cepat, terutama di kota-kota metropolitan tidak dapat terelakan, termasuk di Kota Bogor. Dari sisi historis, proses urbanisasi di wilayah metropolitan Indonesia ditunjukkan oleh beberapa ‘momentum’ urbanisasi. Momentum pertama ekskalasi urbanisasi di Jabodetabek dan Bandung Raya di akhir 1980an – awal 1990an. Momentum kedua terjadi di akhir tahun 2000an.
Ciri proses urbanisasi adalah urban sprawl, yaitu perluasan ciri perkotaan ke arah pinggiran (peri-urban) tanpa terkendali. Wilayah peri-urban ini merupakan wilayah paling dinamik dalam konteks urbanisasi di wilayah metropolitan. Mengambil 10 kecamatan dari Kabupaten Bogor yang berbatasan langsung dengan Kota Bogor, kajian ini mengidentifikasi 3 kecamatan peri-urban dengan tingkat urbanisasi paling masif (penduduk, luas lahan terbangun), yaitu Bojonggede, Sukaraja, Ciomas.
Urbanisasi yang cepat dipengaruhi oleh posisi Kota Bogor di level regional dan nasional. Jakarta merupakan pusat aktivitas sosial dan ekonomi Indonesia sejak jaman kolonial. Proses tersebut terus berlangsung hingga saat ini dan menyebabkan wilayah sekitarnya, termasuk Kota dan Kabupaten Bogor, terdampak . Saat ini Kabupaten Bogor berperan dalam tiga fungsi strategis yaitu (i) sebagai penyangga DKI Jakarta terkait pengembangan permukiman perkotaan dalam sistem Metropolitan Jabodetabek, (ii) merupakan daerah konservasi tata air kawasan Metropolitan Jabodetabek, (iii) merupakan daerah pengembangan pertanian terutama hortikultura. Selain itu, lokasi strategis Kota Bogor berpotensi dalam pengembangan permukiman, perekonomian, pelayanan, pusat industri, perdagangan, transportasi, dan pariwisata untuk skala lebih luas. Diperlukan suatu kajian awal untuk lebih memahami dinamika proses urbanisasi yang berlangsung yang melibatkan Kota Bogor sebagai bagian pengembangan perkotaan yang lebih besar.
Urbanisasi dapat dilihat dari dua sisi mata koin. Di satu sisi, urbanisasi dapat dilihat sebagai proses yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Di sisi lainnya, urbanisasi (yang tidak terkendali) dapat menghasilkan beragam eksternalitas negatif. Beberapa persoalan terkait urbanisasi yang tidak terkendali, antara lain permukiman kumuh dan pencemaran lingkungan, ketenagakerjaan dan pengangguran, kemiskinan, ruang terbuka hijau, mobilitas dan kemacetan.
Hasil kajian ini menjadi masukan awal untuk kebijakan (perkotaan) di Kota Bogor. Pertama, urbanisasi yang cepat, termasuk di wilayah peri-urban yang mempunyai dinamika tinggi, memerlukan tata kelola yang lebih baik. Tata kelola ini diharapkan dapat memoderasi nilai ekonomi yang dihasilkan dari proses pembangunan dengan upaya-upaya memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Untuk mendorong tata kelola yang baik maka rencana tata ruang perlu menjadi panduan untuk mengendalikan pembangunan. Selain itu, diperlukan upaya untuk mensinergikan pengembangan jaringan infrastruktur transportasi dengan pengembangan permukiman dan pusat ekonomi. Ketiadaan sinergitas antar kedua hal tersebut, menjadi salah satu penyebab kemacetan. Sinergitas juga diperlukan antar pemerintah daerah (Kota dengan Kabupaten Bogor) terutama di wilayah perbatasan (peri-urban).
Saya berpendapat keberadaan IPB sebagai kampus yang mengundang siswa dari seluruh Indonesia juga adalah faktor pemicu urbanisasi menuju Bogor, saat ini lulusan IPB yang tidak ingin kembali ke daerah asal nya menyebabkan pertumbuhan urban dari tahun ke tahun meningkat. Lokasi Bogor yang dekat dengan Ibu Kota Jakarta adalah hal yang menjadi pertimbangan untuk mencari pekerjaan yang dekat dengan wilayah Bogor.