Dalam rangka untuk mencapai perekonomian Indonesia yang berkelanjutan, seimbang dan inklusif, diperlukan struktur neraca transaksi berjalan yang kuat pada industri manufaktur. Selain dibutuhkan penguatan industri manufaktur yang berorientasi ekspor, juga perlu didukung dengan penguatan substitusi impor mengingat struktur industri manufaktur masih bergantung pada bahan baku impor. Berdasarkan pemetaan impor nasional, impor komoditas pada sektor industri manufaktur menjadi penyumbang impor terbesar.
Di tengah berbagai tantangan dan risiko terkait ketergantungan impor industri manufaktur, diperlukan upaya secara berkelanjutan untuk memperkuat struktur industri manufaktur yang dapat turut mendukung transformasi ekonomi. Salah satu kebijakan yang tengah diupayakan oleh Pemerintah adalah adanya rencana kebijakan untuk mewujudkan program substitusi impor yang mencapai 35% pada 2022. Pemerintah berupaya menurunkan impor pada industri dengan nilai impor besar melalui empat strategi utama, yakni pendalaman struktur industri, kemandirian bahan baku dan produksi, penetapan regulasi dan insentif yang mendukung, serta pengoptimalan program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN). Keberlanjutan program substitusi impor diharapkan dapat mendorong investasi yang dapat meningkatkan kapasitas produksi dan mendorong pembukaan industri baru yang belum tersedia di Indonesia.
Berdasarkan latar belakang mengenai pentingnya upaya substitusi impor tersebut, kajian ini akan difokuskan untuk memetakan struktur industri prioritas yang memiliki nilai impor yang besar dan mengevaluasi kinerja impor industri tersebut khususnya untuk komoditas kakao dan garam. Selanjutnya akan dilakukan identifikasi potensi penguatan substitusi impor sekaligus penguatan local value chain dalam konteks dukungan bahan baku lokal. Hasil kajian ini diharapkan juga dapat menghasilkan strategi dan rekomendasi kebijakan jangka menengah panjang sebagai kelanjutan dari Program Substitusi Impor Pemerintah yang ditargetkan di tahun 2022.
Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan subsitusi impor kakao dan juga program hilirisasi industri pengolahan kakao adalah ketersediaan dan kesinambungan pasokan biji kakao dari segi volume maupun kualitasnya. Kebijakan industri prioritas dan program hilirisasi industri pengolahan kakao serta ketentuan bea keluar untuk produk olahan kakao merupakan faktor yang menyebabkan adanya kecenderungan ekspor dalam bentuk produk olahan biji kakao, dan berdampak kepada surplus perdagangan. Neraca perdagangan kakao dan cokelat di wilayah Bali-Nusra pada komoditi biji kakao (HS 1801) mengalami surplus, kecuali pada kelompok produk olahan coklelat (HS 1806) yang mengalami defisit dengan kecenderungan menurun pada tahun 2018-2020.
Prioritas pertama dalam rangka meningkatkan substitusi impor adalah biji kakao, oleh karena komoditi ini merupakan yang terbesar defisit perdagangannya dan menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat. Fokus berikutnya dalam rangka meningkatkan substitusi impor adalah produk antara olahan kakao yaitu Pasta, Lemak dan Bubuk Kakao. Fokus substitusi impor prioritas ketiga adalah meningkatkan substitusi impor produk olahan coklat (HS 1806). Untuk kelompok produk ini memerlukan investasi dan teknologi agar dapat menghasilkan atau mengembangkan produk-produk inovatif yang mempunyai daya saing terhadap produk olahan cokelat impor.
Lain halnya dengan pengolahan garam dimulai dari Teknologi penggaraman solar evaporasi yang diambil dari air laut lalu melalui proses penguapan menjadi produk garam. Garam yang paling bawah dari air laut itu potensinya bermacam-macam, namun kasus yang terjadi di Indonesia baru dimanfaatkan sebagai garam konsumsi saja. Bahkan untuk garam bahan baku konsumsi beriodium pada kelompok garam industri masih diklaim kurang memenuhi syarat sehingga masih tergolong K1, K2 dan K3.
Perkembangan harga garam dalam rentang waktu tahun 2009 sampai tahun 2021 tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan kecuali yang terjadi pada tahun 2017-ketika terjadi kelangkaan. Indonesia meskipun negara kepulauan namun hingga saat ini masih merupakan negara importir garam, utamanya garam industri. Ekspor garam Indonesia hanya 0,20 % dibandingkan impor pada tahun 2020, kondisi tersebut sudah berlangsung dalam satu dekade ini. Strategi Kebijakan internal Pengembangan Komoditas Garam terdiri dari (1) fasilitasi transportasi, (2) modernisasi teknologi produksi, (3) aglomerasi lahan, (4) integrasi hulu-hilir dan (5) penyuluhan dan pendampingan proses produksi. Strategi eksternal Pengembangan Komoditas Garam yang terdiri dari (1) penguatan pengawasan, penguatan pengawasan impor, (2) review dan revisi SNI garam, dan (3) review perjanjian bilateral.