Paris, Knope, dan Andereck (2014) menjelaskan bahwa visioning pariwisata merupakan proses yang membutuhkan berbagai pihak terkait untuk membayangkan dan menggambarkan pengembangan pariwisata di masa depan pada waktu yang ditentukan dalam berbagai alternatif dengan keberadaan sumber daya yang ada. Westley dan Mintzberg (1989) dalam Paris, Knope, dan Andereck (2014) menyimpulkan bahwa visioning merupakan proses yang dibentuk oleh tahapan sebagai berikut: 1) Membayangkan tahapan kerja yang dibutuhkan, 2) Komunikasi yang efektif akan visi tersebut, 3) Pemberdayaan pihak-pihak terkait dalam mewujudnyatakan visi tersebut.
Visioning pariwisata dapat memberikan strategi yang luas dan memungkinkan masyarakat untuk beradaptasi dengan tantangan dan perubahan. Visioning yang jelas dan rinci dapat mengartikulasikan aspirasi, nilai inti, dan mewakili pola nilai yang dapat dikembangkan di masa depan. Visioning juga dapat membantu masyarakat untuk belajar memetakan dan memanfaatkan sumber daya lokal (Weinberg,1999).
Visioning pariwisata menghasilkan identifikasi permasalahan pada suatu destinasi wisata, kondisi destinasi wisata, serta alternatif konsep rencana pengembangan destinasi wisata tersebut. Perumusan alternatif konsep rencana pengembangan destinasi wisata dengan melakukan penentuan prioritas pengembangan key tourism areas (KTA). Penentuan KTA dilakukan dengan menggunakan beberapa variabel yaitu: 1) Jumlah anggota dalam kelompok wisatawan (sendiri, berpasangan, atau berkelompok), 2) Frekuensi kunjungan wisatawan, 3) Penilaian wisatawan terhadap keamanan dan keterjangkauan destinasi wisata, 4) Penilaian tingkat kepuasan pelayanan wisatawan dan 5) Penilaian tingkat keterkaitan terhadap kegiatan di sekitar destinasi wisata.
Berpijak pada teori Weinberg, dalam perumusan visioning pariwisata perlu dilakukan identifikasi kondisi awal, permasalahan dan konsep alternatif rencana atau skenario pengembangan pariwisata. Kondisi awal atau baseline pariwisata memuat seluruh data dan informasi destinasi wisata berikut dengan suprastruktur dan infrastruktur pendukungnya. Identifikasi dan analisis masalah didekati dengan market and demand analysis atau yang sering disingkat dengan MADA. Sedangkan perumusan alternatif skenario pengembangan dapat didekati dengan pendekatan pentahapan pengembangan infrastruktur dan atau pusat-pusat pertumbuhan wilayah berbasis KTA dan spasial.
Pada umumnya baseline pariwisata memuat data lengkap dan terkini tentang kebijakan pengembangan pariwisata, baik kebijakan nasional, provinsi maupun kabupaten/kota, data tentang destinasi wisata itu sendiri, industri pariwisata yang ada, kelembagaan pariwisata daerah, pemasaran yang sudah dan akan dilakukan, investasi dan minat investasi sektor pariwisata, potensi dan masalah.
Sedangkan MADA memuat analisis kedudukan, aksesibilitas dan konektivitas, kesesuaian lahan, kesesuaian dengan daya dukung dan tata ruang, pengelompokan destinasi wisata (clustering), kinerja dari industri pariwisata, sumber daya manusia, kelembagaan, sosial demografi, permintaan pariwisata dan analisis bisnis dan investasi sektor pariwisata.
Pengembangan pariwisata melalui pendekatan partisipatif
Dalam perumusan alternatif skenario atau konsep pengembangan pariwisata suatu daerah atau kawasan dengan pendekatan visioning seyogyanya dilakukan pendekatan partisipatif secara horizontal dan vertikal. Artinya berbagai representasi para pelaku pariwisata dilibatkan termasuk unsur pemerintah daerah (horizontal) serta setiap jenjang pemerintahan sampai pusat sesuai dengan kewenangan masing-masing (vertikal).
Dalam konteks perencanaan partisipatif, yang menarik dalam perumusan skenario pengembangan pariwisata pada pendekatan visioning, rancangan alternatif pengembangan pariwisata yang sudah dianalisis dengan berbagai pertimbangan kebijakan sektoral dan pendekatan teknokratis, pada akhirnya dipilih atau ditentukan oleh para pelaku pariwisata daerah. Dalam perencanaan teknis dan pelaksanaan pembangunannya, seluruh pihak baik pelaku langsung maupun pendukungnya hanya akan mengacu pada skenario yang sudah disepakati. Penyepakatan ini dituangkan dalam suatu peraturan pada tingkat menteri bahkan tingkat presiden.
Skenario pengembangan pariwisata memuat 1) future key tourism area yang terdiri atas KTA utama, potensial dan non KTA, 2) rekomendasi strategi pengembangan wilayah kepariwisataan, 3) rekomendasi pembangunan dan pengembangan daya tarik wisata (DTW) dan amenitas pendukungnya, 4) rekomendasi strategi pengembangan aksesibilitas dan infrastruktur penunjang, 5) rekomendasi karakterisitik pasar berupa penyediaan kebutuhan wisatawan yang sesuai dengan kebutuhan wisatawan, baik wisatawan nusantara maupun mancanegara, 6) rekomendasi pengembangan SDM berbasis masyarakat lokal yang sesuai kebutuhan industri lokal, regional, nasional dan global, 7) rekomendasi investasi dan bisnis yang menciptakan peluang usaha dan penanaman modal sektor pariwisata yang sesuai potensi unik daerah dengan mempertimbangkan hasil analisis pasar, dan 8) rencana tapak dari DTW kunci pada beberapa KTA utama yang akan dijadikan program pembangunan DTW tahap pertama.
Terlepas dari pendekatan apapun dalam perumusan visi yang dirincikan dalam tahapan skenario pengembangan pariwisata suatu daerah, sangat penting untuk disepakati dan ditetapkan indikator peningkatan kesejahteraan sebagai tujuan akhirnya. Pada sisi lain, dengan adanya analisis daya dukung dan daya tampung (carrying capacity analysis), pengembangan pariwisata tetap bertumpu pada prinsip pembangunan berkelanjutan, seperti pelestarian sumber daya alam bernilai tinggi (high conservation value), perbaikan dan pengayaan ekosistem serta perlindungan dan pelestarian tradisi dan budaya lokal masyarakat setempat.
Penulis: Zulfikar Albar, IAP.
Referensi
- Visionary leadership and strategic management (Frances Westley, Henry Mintzberg)
- Tourism Visioning: Implementing a Primary Stakeholder Approach (Paris, Cody Morris; Knopf, Richard C.; Andereck, Kathleen)