Pembangunan yang saat ini sedang gencar dilakukan di Indonesia memerlukan suplai energi untuk keberlanjutannya, baik itu energi yang berasal dari fosil (bahan bakar minyak) maupun energi yang terbarukan. Saat ini ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil dalam memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri masih tinggi dengan kontribusi sebesar 94,3% dari total kebutuhan energi nasional yang sebesar 1.357 juta SBM (setara barel minyak), sedangkan sisanya sebesar 5,7% dipenuhi dari energi baru terbarukan. Dari jumlah tersebut, minyak bumi memberikan kontribusi 49,7%, gas bumi 20,1%, dan batubara sebesar 24,5%.
Sementara jumlah cadangan sumber energi fosil, terutama minyak bumi, terus turun karena upaya untuk melakukan penambahan cadangan baru belum mampu mengimbangi laju kecepatan penurunan cadangan yang sudah ada sebagai akibat dari eksploitasi yang telah dilakukan. Sebagian besar dari minyak bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri harus diimpor, baik dalam bentuk minyak mentah maupun dalam bentuk produk minyak. Berdasarkan data Kementerian ESDM, potensi sumber energi tenaga air tersebar sebanyak 15.600 megawatt (20,8 persen) di Sumatera, 4.200 megawatt (5,6 persen) di Jawa, Kalimantan 21.600 megawatt (28,8 persen), Sulawesi, 10.200 megawatt (13,6 persen), Bali, NTT, NTB, 620 megawatt (0,8 persen), Maluku, 430 megawatt (0,6 persen) dan Papua, menyimpan potensi tenaga air sebesar 22.350 megawatt atau 29,8 persen dari potensi nasional.
Untuk mendorong dan merealisasikan pemanfaatan sumber daya air sebagai pembangkit tenaga listrik, melalui Permen ESDM No. 39K/20/MEM/2019 tentang Pengesahan Rencana Usaha penyediaan Tenaga Listrik PT Perusahaan Listrik Negara yang dituangkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN 2019-2028.
Sulawesi Utara memiliki potensi sumber energi terbarukan yang cukup besar berupa panas bumi hingga 185 MW yang tersebar di Kotamobagu, Klabat Wineru, dan Lahendong. Dari potensi panas bumi tersebut, yang sudah dieksploitasi sebesar 120 MW yaitu PLTP Lahendong unit 1, 2, 3, 4, 5 dan 6. Kendala yang dihadapi untuk mengembangkan potensi panas bumi dan beberapa tenaga air yang cukup besar adalah masalah status lahan dimana sebagian besar potensi tersebut berada di kawasan hutan cagar alam Gunung Ambang di Kabupaten Bolaang Mongandow. Beberapa potensi tenaga air yang dapat dikembangkan menjadi PLTA dan terdapat di kawasan tersebut adalah Poigar III (20 MW).
Dalam rangka ketahanan energi dan pelestarian kawasan konservasi, khususnya di kawasan Poigar perlu dilakukan Studi Sinergitas Pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) dan Pengelolaan Lanskap Konservasi Poigar secara Berkelanjutan. Pendekatan lanskap menawarkan solusi untuk menangani berbagai persoalan tersebut yang bersifat terintegrasi melalui keterpaduan pembangunan sektor kehutanan dengan pertanian. Kedua sektor ini diharapkan dapat saling bahu membahu menangani persoalan dalam hal: (i) menyediakan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat; (ii) menyediakan pangan dan papan serta energi; serta (iii) mempertahankan jasa ekosistem esensial seperti keragaman hayati, suplai air, ketahanan ekosistem serta produktivitas lahan.
Kegiatan Studi Sinergitas Pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) dan Pengelolaan Lanskap Konservasi Poigar secara Berkelanjutan dimaksudkan untuk memberikan gambaran dan masukan dalam pengelolaan lanskap Poigar yang optimal dan terpadu. Adapun tujuan studi ini, adalah (1)Teridentifikasinya isu-isu strategis kawasan lanskap Poigar, (2)Didapatnya gambaran pemanfaatan lahan pada Lanskap Konservasi Poigar yang optimal (ideal), (3)Diperolehnya rumusan sinergitas antara pembangunan instalasi pembangkit listrik tenaga air dan peningkatan kualitas lingkungan serta pelestarian Lanskap Konservasi Poigar.
Adapun rekomendasi dalam kajian itu berupa, perlunya dilakukan optimalisasi penggunaan lahan dalam lanskap Poigar dalam rangka untuk menjaga atau meningkatkan kesehatan dan produktivitas ekosistem serta menghasilkan komoditas penting dan nilai-nilai lain untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia dalam batas risiko yang dapat diterima secara sosial, ekologis, dan ekonomis. Optimalisasi pemanfaatan lahan di dalam Kawasan hutan dilakukan melalui evaluasi kesesuaian fungsi dengan tujuan mengoptimalkan manfaat layanan fungsi ekosistem hutan baik untuk fungsi penyediaan, pengaturan, sosial budaya maupun fungsi pendukung layanan jasa ekosistemnya.