Penulis : F. S. Putri Cantika, Muhammad Arifin, Anggi Putra Prayoga
Terbit : 2016
Pada akhirnya, apa yang diperjuangkan masyarakat Kepulauan Aru dalam menghentikan rencana pembangunan kawasan perkebunan tebu yang diupayakan oleh sebuah konsorsium perusahaan swasta menuai keberhasilan. Melalui koalisi #SaveAru, perjuangan yang dirintis sejak tahun 2005 mendapatkan hasil positif pada tahun 2015.
Penolakan rencana tersebut menjadi penting dari sisi ekologi, social, dan ekonomi. Dari sisi ekologi, rencana pembangunan kawasan perkebunan tebu itu dilakukan di kawasan hutan primer berusia ratusan tahun. Hutan alam di Kepulauan Aru merupakan sebuah ekosistem yang sangat penting untuk menunjang kehidudan (livelihood) masyarakat yang mendiami pulau-pulau kecil di Kepulauan Aru. Topograf daratan di Kepulauan Aru yang didominasi oleh dataran rendah bertipe karst membuat wilayah di Kepulauan Aru merupakan wilayah yang sangat rentan akan pembukaan hutan di pulau-pulau kecil Aru. Hilangnya hutan yang terdapat di Kepulauan Aru akan menghilangkan sistem kehidupan mayarakat Kepulauan Aru. Dengan karakteristik Kabupaten Kepulauan Aru sebagai pulau kecil, maka keberadaan hutan itu penting untuk menjaga keseimbangan hidrologi, dalam hal ini adalah penyediaan sumber daya air tawar. Keberadaan air tawar di pulau kecil sangat ditentukan salah satunya oleh tutupan lahan (Hehanussa dan Hartanto, 2005).
Dari sisi sosial ekonomi, masyarakat memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap keberadaan hutan ini. Hubungan antara masyarakat dan hutan ini mewujud diantaranya dalam aktivitas-aktivitas seperti berburu, berkebun, dan memanen sagu. Pola hubungan antara masyarakat dan hutan yang terbangun sekian ratus tahun lamanya membentuk kelembagaan dan budaya yang khas, mengharmonisasikan keberlangsungan hutan dan masyarakat. Adanya kelembagaan dan tata kelola adat terhadap sumberdaya lahir dari relasi tersebut.
Maka, ikhtiar yang murni ini dari masyarakat Aru patut didukung oleh segenap pihak. Dukungan yang tidak serta merta berhenti ketika perjuangan mereka telah menuai keberhasilan karena, pertanyaan berikutnya yang menunggu adalah “Lalu apa selanjutnya?”
Perlu disadari juga secara berimbang bahwa ada korbanan (trade-offs) dari gagalnya pembangunan kawasan perkebunan tebu. Di skala makro, potensi pertumbuhan ekonomi yang dikontribusikan oleh subsektor perkebunan menjadi menguap. Efek pengganda (multiplier effect) dari keberadaan perkebunan tebu terhadap sektor-sektor lainnya pun menjadi hilang.
Di tataran mikro, peluang masyarakat mengisi lowongan pekerjaan di perkebunan tebu telah tertutup sudah. Jika pembangunan perkebunan tebu itu lantas diikuti dengan pembangunan industri gula, maka potensi ekonomi yang bisa diraup masyarakat dan hilang menjadi lebih besar lagi.
Akan tetapi, tetap pada akhirnya adalah mudharat yang lebih besar dibanding segala manfaat yang mungkin bisa dipetik dari keberadaan perkebunan. Oleh karena itulah, perjuangan ini layak didukung. Pasca perjuangan ini menuai hasil, dukungan berikutnya yang patut diberikan adalah meminimumkan dampak negatif yang timbul dari tidak jadinya perkebunan dibangun.
Potensi dampak negatif bagi masyarakat adalah hilangnya peluang-peluang ekonomi. Tentunya peluang ekonomi yang dimaksud disini adalah ekonomi yang tidak ramah lingkungan, sehingga yang perlu dijawab adalah “bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah dari aktivitas ekonomi masyarakat Kepulauan Aru secara berkelanjutan?”