Konversi lahan sawah dianggap masih terjadi hingga saat ini, dan pencegahan melalui perundangan dianggap belum mantap serta belum bisa dijalankan. Saat ini pihak berwenang sedang berusaha merevisi perundangan yang ada (UU No 41, 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan – LP2B), seiring dengan perlunya penyesuaian akibat UU Cipta Karya, yang memperbesar peluang konversi lahan sawah melalui adanya kawasan ekonomi khusus. Untuk mengetahui cara melindungi melalui perundangan dan praktek yang sudah ada maka perlu dipahami karakter lahan sawah, budidaya dan keuntungannya, penguasaan dan kepemilikan lahan, kebijakan pemda dan proses perlindungan sesuai perundangan.
Lahan sawah umumnya terbentuk di daerah yang ketersediaan air yang cukup, dan datar atau sudah didatarkan. Umumnya tanah sawah sudah mempunyai fasilitas yang baik seperti adanya jalan, dekat jaringan listrik, adanya jaringan irigasi/drainase yang baik yang secara periode dialirkan. Daerah ini cenderung menjadi daerah yang diminati pengusaha untuk dijadikan perumahan, pertokoan dan lainnya. Oleh karena itu, potensi konversi penggunaan tinggi karena daya tarik banyak. Apakah landasan potensi konversi tinggi dijadikan ukuran lahan harus dilindungi atau kebalikannya ? Kalau alasan potensi konversi tinggi maka semua akan berpotensi dikonversi. Pertimbangan berusaha penting sehingga layak dilihat.
Realitasnya usaha bertanam padi yang produktif membutuhkan masukan input mulai dari benih, air, pupuk, pestisida dan tenaga kerja. Kegagalan mendapatkan input yang cukup akan menghasilkan produksi yang tidak optimum. Kenyataannya, harga berbagai tipe input berusaha padi ini cenderung naik sehingga biaya input keseluruhan naik dan tidak sebanding dengan hasil jual. Secara teori seorang petani bisa menyimpan padinya, jika hasilnya berlebih, sehingga tidak melepas ke pasar jika harga belum pas karena hasil panen bisa disimpan. Saat ini bantuan pemerintah ke berbagai input sudah dilakukan tetapi tidak berhasil mensejahterakan petani karena tidak bisa juga menaikkan harga setinggi-tinginya. Sampai batas tertentu harga padi atau beras juga diatur atau diintervensi pemerintah. Tetapi, jika keuntungan bertani tidak menjadikannya sejahtera maka petani cenderung akan membiarkan lahan dijual untuk melihat peluang lain.
Apakah lahan sawah berukuran kecil kita asumsikan mudah terkonversi karena tidak mensejahterakan?
Untuk mencapai kesejahteraan petani padi, struktur penguasaan atau kepemilikan lahan sawah harus kita cermati. Secara umum luas pengusahaan sawah di Indonesia adalah kecil. Penguasaan petani padi di Jawa dominan kurang dari 0,25 ha, sedangkan di luar jawa adalah lebih besar. Petani padi yang punya lahan sawah diatas 2 ha mendapatkan keuntungan besar dari bertani padi apalagi kalau bisa tanam 3 kali. Kepemilikan lahan kecil, walaupun produktivitas tinggi tetap tidak akan mampu mendukung petaninya sejahtera. Kondisi lebih berat adalah petani yang tidak punya lahan atau petani gurem makin besar. Bagi petani kategori ini, ketergantungan ke lahan adalah sangat tinggi. Apakah lahan sawah berukuran kecil kita asumsikan mudah terkonversi karena tidak mensejahterakan ? Bagi perencana perlindungan lahan pangan khususnya sawah, keputusan biasanya bervariasi sesuai kondisi lokal. Di wilayah tertentu ukuran kepemilikan bisa menjadi pertimbangan sangat penting. Kalau lahan kecil tidak ekonomis, tetapi kebutuhan pangan berbasis lahan tetap dianggap penting, maka pertimbangan konsolidasi lahan menjadi penting, dan pengaturan ini tidak walaupun sudah ada dalam perundangan. Berarti ada hal yang harus diperbaiki.
Penyebab konversi lahan secara masif adalah kebijakan pemerintah daerah (kabupaten atau kota) melalui penetapan kawasan. Lokasi lahan sawah dapat ditetapkan sebagai kawasan pemukiman. Jika kebijakan ini ditetapkan maka proses perijinan pembangunan perumahan atau usaha ekonomi lainnya dapat diberikan yang tidak melanggar perundangan. Di beberapa wilayah Indonesia kondisi ini ditemukan. Variasi lain adalah pemda menetapkan luasan sawah yang dilindungi, yang jumlahnya lebih kecil dari aktual sawah, tetapi lokasinya tidak dibuat. Jika luas aktual lebih kecil, berarti secara sengaja lahan tidak dilindungi. Jika lokasi tidak diekplisitkan, maka banyak pilihan lokasi perijinan dapat diberikan. Sebagian argumen pemda melakukan hal ini adalah untuk keperluan mendukung aktivitas ekonomi dan pembangunan, yang memerlukan lahan serta hal ini sejalan dengan keperluan investor. Idealnya suatu kawasan yang direncanakan untuk peruntukan tertentu maka berbagai infrastruktur dan lainnya sudah disiapkan, bukan mengganggu pengunaan yang sudah ada. Hal ini perlu dilihat kembali tentang substansi UU Cipta karya yang membuat LP2B bisa dikonversi tetapi tidak menekankan kebutuhan infrastruktur yang diperlukan kawasan spesifik.
Penyebab lain yang penting diperhatikan adalah proses perlindungan lahan sawah ternyata tidak mudah, mulai dari penentuan lokasi hingga dijadikan perda LP2B. Secara umum proses perlindungan membutuhkan data banyak, mulai dari data fisik alami (kesesuaian lahan dan sumber air — kondisi lahan bisa menghasilkan keunikan aroma padi), fisik buatan (kondisi irigasi, drainase, jalan tani – kondisi infrastruktur buruk sering mendorong kerentanan dijual; air melimpah menjadi berkah dan berperan membuat beras unik), kondisi aktual sawah dengan kinerjanya (lahan berproduktivitas rendah rentan dijual), kondisi sosial ekonomi pemilik atau penggarap seperti ketergantungan petani ke lahan yang ada, dan keinginan pemda (pemda secara sengaja hanya melindungi sebagian wilayah sawah). Setelah data diperoleh maka dilakukan proses analisis dan akhirnya diuji dan seterusnya, sehingga diperoleh pilihan lahan sawah yang dilindungi. Kegiatan ini membutuhkan biaya dan waktu. Di perundangan penyusunan LP2B, penentuan lahan yang dilindungi diharapkan ada persetujuan dari pemilik lahan yang kalau dijalankan maka akan sangat mahal biayanya. Pemda tertentu yang sudah melakukan penetapan Perda LP2B, ada yang melalui semua tahapan detil dan ada juga tidak. Kabupaten tertentu menetapkan LP2B tidak melalui pertanyaan orang per orang, tetap membuat alasan lain. Dalam konteks ini beberapa substansi tahapan di perundangan perlu disederhanakan. Variabel lain masih perlu dibuat secara detil dalam perundangan adalah potensi terkonversi secara permanen atau tidak, potensi bencana, dan lainnya, yang semua dapat mempersulit proses. Realitasnya kombinasi semua faktor tadi membuat keinginan pemda melindungi sawah sulit dilakukan.
Skema Insentif, Disinsentif atau Sanksi
Hal yang juga ada dalam kebijakan adalah insentif, disinsentif atau sanksi. Program terkait sudah terbaca jelas dalam UU, tetapi operasionalisasi dapat dikatakan belum merata. Insentif yang selalu disinggung adalah ke pemilik lahan, sedangkan aktor pemda, belum tersentuh. Tujuan kebijakan perlindungan pada akhirnya untuk membuat petani pemilik atau penggarap mendapat keuntungan lebih baik dan berkelanjutan jika melindungi lahannya daripada mengkonversi lahannya. Bentuk insentif bisa bervariasi dan sebagian sudah ada dalam kebijakan saat ini tetapi harus disadari bahwa kebijakan insentif dan disinsentif juga banyak belum dijalankan. Disinsentif khusus ke aktor petani termasuk lemah, dan hal ini perlu dipertegas.
Dalam kebijakan perlindungan saat ini, berbagai sektor sudah dilibatkan dan mempunyai peran berbeda-beda, yang seyogyanya berkordinasi. Mengingat model kelembagaan saat ini terbukti tidak berjalan baik, maka pengaturan kembali lembaga menjadi penting. Harusnya lembaga yang paling berperan dalam kegiatan perlindungan ini, mempunyai kapasitas kuat. Berbagai hambatan dan atau kemungkinan ego sektoral dapat dikendalikan lembaga ini. Mengingat program kepemimpinan yang akan datang mengutamakan pangan dan yang terkait, maka pengaturan bentuk dan kewenangan lembaga ini perlu diatur sehingga dikelola pihak yang kompeten.
Oleh: Baba Barus dan La Ode Syamsul Iman